Perkembangan Kolonialisme di Indonesia
Perkembangan Kolonialisme di Indonesia - Revolusi Industri
yang memberikan pengaruh terhadap perekonomian, khususnya di kawasan Eropa
telah mendorong negaranegara Barat untuk melakukan penjelajahan samudera. Penjelajahan
ini bertujuan untuk mencari daerah yang akan dijadikan jajahan.
Di daerah-daerah yang telah berhasil dikuasai, para
penjelajah melakukan eksploitasi besarbesaran terhadap sumber daya alam dan memasarkan
hasil industri dari negaranya. Pada awal kedatangannya, para penjelajah yang
menemukan daerah baru dan mendarat di suatu tempat, memperkenalkan dirinya sebagai
pedagang. Mereka melakukan interaksi perdagangan dengan penduduk pribumi,
bahkan di antara mereka ada pula yang mendirikan pemukiman (koloni).
Pada perkembangan selanjutnya, tanpa disadari oleh penduduk
pribumi daerah itu oleh mereka dianggap sebagai daerah miliknya. Dengan leluasa
mereka mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan yang ada di daerah baru itu.
Dalam sistem politik, pendudukan, dan penguasaan suatu daerah oleh Negara lain
disebut penjajahan atau istilah populernya disebut kolonialisme.
Proses kolonialisme yang selalu dihubungkan dengan
imperialisme yang terjadi di beberapa kawasan, seperti di Asia, Afrika, dan
Amerika dipelopori oleh Inggris, kemudian disusul oleh Portugis dan Spanyol,
Belanda, Inggris, dan Prancis. Negara-negara tersebut mengirimkan para
penjelajahnya untuk mengarungi samudera dan mencari jalan menuju ke Dunia Timur
yang terkenal itu. Selengkapnya Tentang Penjajahan Portugis di Indonesia:
Dalam penjelajahan tersebut Portugis mengirimkan para
penjelajahnya, yaitu sebagai berikut.
- Bartholomeus Diaz (1487-1488) yang diutus raja Portugis untuk mengatur perjalanannya ke Afrika Barat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sampai abad ke-15 para pelaut Portugis hanya mampu mendarat di Pantai Emas saja. Dengan perjalanan inilah, Bartholomeus Dia akhirnya berhasil sampai ke ujung selatan Afrika yang disebut Tanjung Pengharapan (Cape of Good Hope).
- Vasco da Gama (1497-1498) yang diutus raja Portugis yang bernama Manuel I, karena merasa penasaran atas hasil penjelajahan yang dilakukan oleh Columbus. Perjalanan Vasco da Gama ini bertolak dari Lisabon menuju Kepulauan Tanjung Varde dan akhirnya tiba di Tanjung Harapan Baik tahun 1497. Pada tahun 1498, Vasco da Gama beserta rombongannya berhasil berlabuh di Kalikut, pantai Malabar India yang pada masa itu terkenal sebagai kota dagang.
- Alfonso d’Albuquerque (1510-1515). Ia berhasil menaklukkan Goa di pantai barat India pada tahun 1510 dan Malaka (1511). Dari Malaka ia meneruskan penguasaan atas Myanmar. Dari Myanmar inilah ia menjalin hubungan dagang dengan Maluku.
Dipihak lain, Spanyol pun tidak mau ketinggalan untuk
melakukan penjelajahan samudera ke Dunia Timur yang terkenal dengan sumber
rempahrempah. Sama halnya dengan Portugis, Spanyol segera mengirimkan para penjelajahnya
seperti:
- Ferdinand Magelhaens (1480-1521). Magelhaens yang dibantu oleh kapten Juan Sebastian del Cano dan Pigafetta mulai berlayar ke arah Barat-daya dengan mengikuti rute Christopher Columbus (orang Italia yang mengabdikan dirinya pada Raja Spanyol dan berhasil sampai ke benua Amerika yang diyakininya sebagai India) dengan melintasi Samudera Atlantik terus ke ujung selatan Amerika dan sampailah di Kepulauan Filipina pada tahun 1521. Di Filipina (Pulau Cebu), Magelhaens tewas terbunuh oleh suku Mactan.
- Juan Sebastian del Cano. Pada tahun 1522 ia sampai di Maluku, tetapi kedatangan mereka itu telah menimbulkan pertentangan antara Spanyol dan Portugis yang kedua-keduanya saling menuduh telah melanggar Perjanjian Tordesillas, yaitu perjanjian antara bangsa Portugis dan Spanyol yang mengakhiri peperangan selama puluhan tahun antara kedua negara yang bertikai di Eropa untuk memperebutkan daerah jajahan. Perjanjian ini diprakarsai oleh Paus Paulus yang membagi rute pelayaran Spanyol ke timur dan Portugis ke arah barat). Pertentangan di antara mereka berakhir setelah ditandatanganinya Perjanjian Saragosa (1534) di Indonesia. Dalam perjanjian itu diputuskan bahwa wilayah Portugis tetap di Maluku, dan Filipina juga daerah Portugis. Tetapi disebabkan Spanyol merasa berhak atas kepulauan itu maka Spanyol berkuasa di Filipina.
VOC (Belanda)
Dengan adanya keberhasilan yang diraih oleh para penjelajah
Portugis dan Spanyol maka negara-negara Eropa lainnya mencoba untuk datang ke Dunia
Timur, khususnya Indonesia. Pada kurun waktu berikutnya, Belanda mulai
mengadakan penjelajahan samudera. Hal ini didorong oleh ditutupnya Lisabon oleh
Spanyol bagi kapal-kapal Belanda. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum
kejadian itu, Belanda sudah terbiasa berhubungan dagang dengan Portugis lewat
Lisabon dan dari Lisabon barang-barang disalurkan oleh Belanda ke negeri-negeri
Eropa lainnya. Karena selama perang 80 tahun antara Belanda dengan Spanyol maka
Belanda tidak dapat lagi membeli rempahrempah di Lisabon yang sudah dikuasai Spanyol.
Dengan demikian, situasi tersebut telah menyebabkan Belanda berusaha untuk datang
sendiri ke kepulauan rempah-rempah, yaitu Indonesia.
Selengkapnya tentang VOC di Indoenesia:
- Lahirnya VOC
- Kekuasaan VOC di Indonesia
- Pemerintahan VOC di Nusantara
- Kekuatan Baru VOC
- VOC Bangkrut
Prancis
Sesudah VOC dibubarkan, pemerintahan di Nusantara langsung
berada di bawah pemerintahan Belanda. Namun semenjak tahun 1806, ketika Raja Louis
Napoleon diangkat menjadi raja Belanda, sehingga Indonesia secara tidak
langsung telah berada di bawah kekuasaan Prancis. Di Eropa, musuh bebuyutan
Prancis adalah Inggris. Prancis di bawah Napoleon Bonaparte masih belum mampu
menaklukkan Inggris. Untuk itu, kehadiran Inggris di Asia Tenggara telah
mengancam kedudukan Belanda di Indonesia yang telah menjadi daerah kekuasaan
Prancis. Dalam menghadapi masalah dengan Inggris, pada tahun 1808, Louis Napoleon
menunjuk Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Indonesia. Tugas
utama Daendels adalah mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan
Inggris. Untuk keperluan itu, Daendels membangun jalan raya (Grote Postweg)
dari Anyer sampai Panarukan yang panjangnya 1.100 km. Dengan jalan tersebut,
pasukan Belanda akan dapat bergerak cepat. Dalam pembangunan jalan tersebut,
pemerintahan Hindia-Belanda di bawah komando Daendels menggunakan tenaga kerja
dari bangsa Indonesia yang dikerahkan lewat para penguasa pribumi. Dikatakan
tidak kurang 1000 orang pekerja perhari harus disediakan para bupati di setiap
daerah untuk dipekerjakan sebagai tenaga rodi untuk menyukseskan pelaksanaan
pembangunan jalan tersebut. Selain membangun jalan raya, Daendels juga
mendirikan pabrik senjata dan mesiu, serta membangun pangkalan angkatan laut di
Ujung Kulon. Herman William Daendels; pada masa pemerintahannya, Rakyat Indonesia
banyak yang dijadikan sebagai tenaga rodi Di bidang pemerintahan, Daendels
mengubah sistem pemerintahan tradisional dengan sistem pemerintahan Eropa.
Dalam pelaksanaannya, pulau Jawa dibagi menjadi sembilan wilayah yang disebut
perfektur. Setiap perfektur dikepalai oleh seorang residen, dan setiap residen membawahi
beberapa bupati. Para bupati diberi gaji tetap dan tidak diperkenankan meminta
upeti kepada rakyat. Dengan diterapkan sistem pemerintahan yang seperti itu
maka wibawa para bupati menjadi merosot di mata rakyat. Sementara itu,
kekuasaan raja masih diakui, tetapi tetap harus tunduk terhadap semua peraturan
yang dibuat pemerintah Hindia-Belanda.
Sistem pemerintahan Daendels diterapkan sangat keras dan
disiplin, serta cenderung bertangan besi. Hal ini menyebabkan Daendels tidak
disukai oleh berbagai pihak, baik oleh aparat pemerintah yang membantunya
maupun oleh penguasa dan rakyat pribumi. Hubungan antara pribumi dengan
Daendels menjadi buruk. Rencana perlawanan yang menentang pemerintahan Daendels
di berbagai daerah mulai bermunculan. Untuk mempertahankan kedudukannya, Daendels
membutuhkan banyak uang. Dengan sikap berani, Daendels menjual tanah negara
kepada pihak swasta asing. Dalam transaksi jual beli tersebut disepakati bahwa
selain menguasai tanah, si pembeli juga menguasai penduduk yang tinggal di tanah
tersebut. Perilaku Daendels yang demikian itu telah menyebabkan ia dipanggil
dan kemudian kedudukannya di Indonesia digantikan oleh Gubernur Jenderal
Janssens. Dalam menjalankan tugasnya, Janssens ternyata kurang cakap dan lemah.
Hal itu terbukti, dengan adanya Perjanjian Tuntang, yang isinya bahwa kekuasaan
Belanda atas Indonesia diserahkan oleh Janssens kepada Inggris.
Inggris
Sebelum Perjanjian Tuntang (1811), sebenarnya Inggris telah
datang ke Indonesia. Perhatian atas Indonesia dimulai sewaktu penjelajah F.
Drake singgah di Ternate pada tahun 1579. Selanjutnya, ekspedisi lainnya
dikirimkan pada akhir abad ke-16 melalui kongsi dagang yang diberi nama East
Indies Company (EIC). EIC ini mengemban misi untuk mengadakan hubungan dagang dengan
Indonesia. Pada tahun 1602, armada Inggris sampai di Banten dan berhasil
mendirikan loji di sana. Pada tahun 1604, Inggris mengadakan perdagangan dengan
Ambon dan Banda, tahun 1609 mendirikan pos di Sukadana (Kalimantan), tahun 1613
berdagang dengan Makassar, dan pada tahun 1614 mendirikan loji di Batavia.
Dalam usaha perdagangan itu, Inggris mendapat perlawanan kuat dari Belanda.
Belanda tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mengusir Inggris dari
Indonesia. Setelah terjadi peristiwa Ambon Massacre, EIC mengundurkan diri dari
Indonesia dan mengarahkan perhatiannya ke daerah lainnya di Asia Tenggara,
seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei sampai memperoleh kesuksesan. Inggris
kembali berkuasa di Indonesia melalui keberhasilannya memenangkan perjanjian Tuntang
pada tahun 1811. Selama lima tahun (1811-1816), Inggris memegang pemerintahan
dan kekuasaannya di Indonesia. Selengkapnya di Kekuasaan Inggris di Indonesia.
Pemerintahan Hindia
Belanda
Pemerintahan Hindia-Belanda mengisi kekuasaannya dengan
menjalankan berbagai kebijakan yang pada dasarnya meneruskan kebijakan yang
telah diterapkan Raffles dalam kurun waktu sebelumnya. Selama periode antara tahun
1816 dan 1830, Pemerintah Hindia Belanda dihadapkan pada timbulnya berbagai
peperangan di beberapa daerah, seperti Perang Padri dan Perang Jawa. Peperangan
tersebut merupakan peperangan yang besar dan memakan biaya yang banyak. Bahkan,
menyebabkan Pemerintah Hindia-Belanda mengalami kesulitan keuangan. Hasil sewa
tanah yang selama ini dijalankan tidak dapat menutupi kondisi keuangan yang
ada. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia-
Belanda di bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch segera
memberlakukan sistem baru yang disebut sistem tanam paksa (Cultuur Stelsel).
Ciri utama sistem tanam paksa ini adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar
pajak dalam bentuk hasil pertanian (innatura), khususnya kopi, tebu, dan nila.
Hasil pajak tersebut selanjutnya dikirim ke negeri Belanda. Selengkapnya di Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.[gs]
Komentar
Posting Komentar