Pemerintah
Pendudukan Jepang di Indonesia
Kedatangan pasukan
Jepang di Indonesia, pada umumnya disambut oleh masyarakat Indonesia sebagai
pahlawan pembebas daripada sebagai pasukan agresor. Bahkan di beberapa tempat
di luar Jawa, tidak sedikit kalang nasionalis pribumi yang membentuk perlawanan
terhadap Belanda menjelang datangnya serangan Jepang. Di Aceh misalnya, para
ulama Islam Aceh yang tergabung dalam “Persatuan Ulamaulama Seluruh Aceh”
(PUSA-dibentuk tahun 1939) di bawah pimpinan Tengku Mohammad Daud Beureu’eh
(1899-1987) telah menghubungi Jepang untuk membantu serangan Jepang terhadap
Belanda. Di Minangkabau, para ulama secara tidak langsung juga membantu pihak
Jepang dan berharap dapat menyaksikan terdepaknya para penghulu dari
kekuasaannya.
Sebagai balasannya, pada awal
kekuasaannya, pemerintah Jepang banyak memberikan keleluasaan kepada kaum
pribumi, seperti mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia
Raya, dan mengambil alih tanah-tanah perkebunan milik pengusaha Belanda.
Sedangkan untuk memusnahkan pengaruh Barat, Jepang melarang pemakaian bahasa
Belanda dan bahasa Inggris, serta berupaya memajukan pengajaran bahasa Jepang.
Selain itu, kalender Jepang juga diberlakukan menggantikan kalender Masehi.
Akan tetapi dalam situasi peperangan,
Jepang harus memilih prioritasprioritas tertentu. Mereka cepat melakukan reorganisasi
pemerintahan setempat dan memadamkan benih-benih revolusi yang mucul di
beberapa daerah seiring dengan runtuhnya Hindia Belanda. Dalam menjalankan roda
pemerintahan, Jepang terpaksa harus bersandar kepada para ambtenar dari masa
kolonial Belanda seperti; uleebalang, di Aceh, penghulu di Sumatera Barat, para
raja di Sumatera Timur, dan kaum priyayi di pulau Jawa.
Sebagai catatan, Jepang telah membentuk
tiga tentara wilayah, satu untuk Birma (Myanmar), dua untuk Indonesia dan
Malaya. Tentara ke-14 di Filipina dan Tentara Garnisun di Muangthai langsung di
bawah Panglima Tentara Selatan. Tentara-tentara di wilayah Indonesia disusun
sebagai berikut:
- Pulau Sumatera di bawah Tentara Angkatan Darat (Rikugun) ke-25 yang bermarkas di Bukittinggi, Sumatera Barat
- Pulau Jawa dan Madura di bawah Tentara Angkatan Darat ke-16, yang bermarkas di Jakarta. Kedua wilayah ini berada di bawah komando Angkatan Darat Wilayah ke-7 dengan markas besarnya di Singapura.
- Kalimantan dan Indonesia bagian Timur lainnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut (Kaigun) Armada Selatan ke-2 yang bermarkas besar di Makasar. Dengan adanya pembagian ini tidak berarti bahwa di bagian Indonesia Timur tidak ada pasukan Rikugun. Di Maluku misalnya ditempatkan Tentara ke-19 dan di Irian Utara ditempatkan Tentara ke-2. Namun berbeda dengan Tentara ke-16 atau ke-25, Tentara angkatan darat di daerah ini tidak mempunyai tugas administratif, karena tugas itu dipegang oleh angkatan laut.
Pada masing-masing wilayah tersebut
dipimpin oleh kepala staf tentara/armada sebagai seorang gubernur militer
(gunseikan). Kantornya disebut Gunseikanbu. Banyak orang Indonesia yang
diangkat menjadi pegawai pemerintah untuk mengisi tempat yang ditinggalkan oleh
pejabat-pejabat Belanda, baik karena ditawan atau melarikan diri. Kebanyakan
dari pejabat baru adalah berkebangsaan Jepang. Sedangkan bangsa Indonesia yang
menjadi pejabat baru bangsa, umumnya mantan guru, termasuk guru agama Islam.
Bahkan Jepang pernah mengangkat seorang kyai tradisional dari pesantren Gunung Puyuh,
Sukabumi, yaitu Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi sebagai wakil residen Bogor.
Menurut sejarawan Harry J. Benda, hal itu merupakan satu fenomena yang menarik,
yang belum pernah terjadi sebelumnya, seorang pribumi menduduki jabatan lebih
tinggi dari jabatan bupati (Benda 1980). Hal ini menunjukkan bahwa Jepang
mempunyai harapan khusus terhadap para ulama Islam, terutama dalam memobilisasi
masyarakat Indonesia, yang diyakininya beragama Islam. Untuk keperluan itulah
pada akhir Maret 1942, Jepang mendirikan sebuah kantor urusan agama (Shumubu)
di Jawa.
Meskipun para ulama atau para mantan
guru itu dinilai loyalitasnya cukup tinggi daripada para priyayi, uleebalang
atau penghulu, namun umumnya mereka tidak mempunyai kemampuan dan pengalaman
apa-apa dalam birokrasi pemerintahan. Akhirnya para pejabat lama terpaksa
direkrut kembali untuk menduduki jabatan lamanya.
Kebijakan di antara ketiga wilayah
pemerintahan militer itu sangat berbeda. Umumnya Jawa dianggap sebagai wilayah
yang secara politik dinilai paling maju dan dayanya yang utama adalah manusia.
Oleh karena itu kebijakan-kebijakan Jepang di wilayah ini dapat membangkitkan
kesadaran nasional yang jauh lebih mantap dibandingkan dengan kedua wilayah
lainnya. Meskipun demikian, secara ekonomi Jawa nilainya kurang penting,
dibandingkan wilayah Sumatera dan Kalimantan yang kaya akan minyak dan beberapa
sumber pertambangan lainnya yang sangat dibutuhkan industri perang Jepang. Akan
tetapi karena pentingnya arti perkembangan masa depan, maka Jawa mendapat perhatian
ilmiah yang lebih besar daripada pulau-pulau lainnya. Sementara wilayah di
bawah angkatan laut, secara politik dianggap terbelakang walaupun mempunyai
arti ekonomi yang tinggi. Pemerintahan militer di wilayah ini cenderung
bersifat sangat menindas dibandingkan di wilayah Jawa.
Salah satu upaya yang ditempuh
pemerintahan Pendudukan Jepang untuk mencari dukungan sekaligus melibatkan
bangsa Indonesia dalam peperangannya adalah melalui propaganda. Untuk keperluan
itu maka pada bulan Agustus 1942 Jepang membentuk Departemen Propaganda
(Sendenbu). Secara resmi disebutkan bahwa lembaga ini merupakan organ yang
terpisah dari Seksi Penerangan Angkatan Darat. Namun dalam praktiknya lembaga
ini selalu dipimpin oleh para perwira Angkatan Darat, seperti: Kolonel Machida
Keiji (Agustus 1942 – Oktober 1943), Mayor Adachi Hisayoshi (Oktober 1943 –
Maret 1945), dan Kolonel Takanashi Koryo (April 1945 – Agusyus 1945). Di bawah
lembaga ini kemudian dibentuk “Gerakan Tiga A” di bawah pimpinan Mr.
Syamsuddin, kemudian “Poetera” di bawah “empat serangkai”, dan “Jawa Hokokai”
serta “Sumatera Hokokai”. Organisasi propaganda yang disebut terakhir ini
mempunyai alat organisasi sampai tingkat desa yang disebut tonarigumi (Rukun
Tetangga yang berkembang sampai sekarang). Melalui tonarigumi inilah dilakukan
pengorganisasian, mobilisasi, indoktrinasi dan pelaporan rakyat Jawa atau
Sumatera. Sejak bulan Februari 1944, para kepala desa menjalani kursus-kursus
indoktrinasi. Melalui tonarigumi pula terjadi pengerahan para “pahlawan pekerja”,
yang lebih dikenal dengan nama romusha.
Lembaga Sendenbu ini mempunyai 3 seksi,
yaitu: (1) Seksi Administrasi, (2) Seksi Berita dan Pers, dan (3) Seksi
Propaganda. Pada tahun 1943 lembaga ini membantu terbentuknya Keimin Bunka
Shidosho (Lembaga Kebudayaan).
Keimin Bunka Shidosho dibentuk pada 1
April 1943. Peresmiannya dilakukan oleh Gunseikan tanggal 18 April 1943. Dalam
kesempatan itu ia menyebutkan bahwa tujuan Pusat Kebudayaan itu antara lain:
(1) menghapus kebudayaan Barat termasuk faham kesenian yang tidak cocok dengan
sikap ketimuran, (2) membangun kebudayaan Timur untuk dijadikan dasar bagi
memajukan bangsa Asia Timur (Raya), dan (3) menghimpun para seniman untuk
membantu tercapainya kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya. Untuk yang
disebut terakhir, pemerintah Jepang memenga merekrut para seniman, termasuk
para pelukis. Bahkan menerbitkan karya-karya mereka.
Berdasarkan pernyataan itu, seolah-olah
pemerintah Jepang menginginkan terpeliharanya dan sekaligus berkembangnya
kebudayaan asli Indonesia dengan cara melenyapkan pengaruh Barat. Namun di sisi
lain tersirat bahwa Jepang akan berusaha untuk menanamkan dan menyebarkan seni
dan budaya Jepang, terutama dalam materi pendidikan dan kursus-kursus pelatihan
guru.[gs]
Komentar
Posting Komentar